Obrolanrakyat.id, Samarinda – Distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang masih bermasalah di Kota Samarinda kembali menuai kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Anggota Komisi II DPRD Samarinda, Abdul Rohim, menilai Pertamina sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan yang terus berulang setiap tahunnya.
Masalah distribusi energi diakui tidak kunjung tuntas karena seluruh kewenangan ada di tangan Pertamina. Pemerintah daerah, menurut Rohim, tidak memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan maupun pengawasan distribusi BBM dan gas di daerah.
“Jadi, ini memang Pertamina ini biang masalah memang, biang masalah BBM, biang masalah gas,” ucap Rohim dengan nada tegas saat ditemui di Gedung DPRD Samarinda belum lama ini.
Ia menambahkan, sistem tata niaga BBM dan gas yang seluruhnya dikendalikan oleh Pertamina menjadi akar dari semua persoalan distribusi energi yang dirasakan masyarakat. Ketidakterlibatan pemerintah daerah memperburuk kondisi karena tidak ada kewenangan langsung untuk mengatur atau memperbaiki sistem distribusi tersebut.
“Kenapa saya bilang biang masalah, karena tata niaga persoalan BBM dan gas ini sepenuhnya ada dalam otoritas dia,” ujarnya menjelaskan alasan penyebutan Pertamina sebagai sumber kekacauan.
Abdul Rohim menekankan bahwa pemerintah daerah selama ini hanya diberi ruang sebagai fasilitator yang membantu proses tata niaga, tanpa kewenangan membuat keputusan. Karena itu, menurutnya, yang layak dimintai pertanggungjawaban atas kelangkaan maupun distribusi yang tidak merata hanyalah Pertamina.
“Pemerintah daerah itu hanya memberikan ruang membantu dia untuk menjalankan tata niaga,” jelasnya lebih lanjut mengenai keterbatasan daerah.
Sikap keras ditunjukkan Rohim dengan mengungkap bahwa ia pernah mengajak sejumlah elemen masyarakat menempuh jalur hukum. Ia mendorong adanya tindakan class action terhadap Pertamina sebagai bentuk perlawanan atas kerugian masyarakat yang terus terjadi.
“Saya malah beberapa kesempatan mengajak beberapa elemen masyarakat itu untuk melakukan class action sama jaga Pertamina,” katanya mengisyaratkan ketegasannya.
Langkah hukum ini dinilai perlu untuk memberikan efek jera terhadap Pertamina agar tidak terus mengabaikan kepentingan masyarakat dan menjalankan distribusi energi secara profesional dan bertanggung jawab.
“Jadi sekalian saja dilakukan class action, karena dia sudah merugikan masyarakat,” tambahnya.
Rohim juga menyoroti kemungkinan adanya permainan kotor dalam distribusi energi. Ia menduga ketidakprofesionalan Pertamina turut dipengaruhi keberadaan sindikat dan oknum yang sengaja memperkeruh situasi demi kepentingan tertentu.
“Karena ketidakprofesionalan dia, dan mungkin ada istilahnya orang sindikat, ada sindikasi, ada oknum-oknum itu yang kemudian memainkan persoalan BBM dan gas,” ungkapnya mengungkapkan dugaan adanya jaringan terorganisir.
Ia menegaskan, persoalan ini bukan lagi kejadian insidental, melainkan sudah menjadi siklus tahunan yang terus berulang dan merugikan masyarakat Samarinda secara luas.
“Jadi ini biang masalahnya Pertamina,” ucapnya kembali menegaskan penyebab utama persoalan.
Namun, ia menyadari bahwa menuntut Pertamina secara langsung tidaklah semudah yang dibayangkan karena lembaga tersebut berada di bawah pemerintah pusat. Dengan begitu, upaya penindakan dan sanksi bukan ranah daerah, melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
“Tapi kan begini, untuk itu pemerintah juga kalau dituntut dia terbatas, karena Pertamina ini berarti urusannya nanti harus ke pemerintah pusat,” jelas Rohim mengenai tantangan dalam menyelesaikan masalah ini.
Menurutnya, satu-satunya pihak yang dapat memberikan sanksi kepada Pertamina adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan pemerintah daerah.
Dengan kondisi ini, DPRD Samarinda mendorong pemerintah pusat untuk segera turun tangan menangani permasalahan distribusi BBM dan gas yang semakin memprihatinkan di daerah. (Adv)