Obrolanrakyat.id, Samarinda – Persoalan kekurangan tenaga pengajar kembali mencuat di Kota Samarinda, dipicu belum dicabutnya kebijakan moratorium pengangkatan guru honorer oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini dinilai menghambat upaya pemerataan pendidikan, terutama di kawasan pinggiran kota yang selama ini kekurangan tenaga pendidik dan belum tercukupi oleh formasi guru PPPK.
Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Ismail Latisi, menyampaikan keprihatinannya atas situasi tersebut saat ditemui di Ruang Fraksi Gedung DPRD Samarinda.
“Yang jadi masalah kita kemudian, tiap tahun itu ada guru yang pensiun, sementara guru yang pensiun ini, di sekolah PPPK belum cukup,” ucap Ismail belum lama ini.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah menghadapi kesulitan merekrut guru honorer baru karena masih diberlakukannya moratorium tenaga honorer secara nasional.
“Mau ngambil tenaga honorer masih kesulitan karena moratorium penghentian tenaga honorer,” jelasnya lebih lanjut.
Menurut Ismail, kebutuhan tenaga pendidik semakin meningkat seiring waktu, namun terbentur oleh regulasi yang membuat pemerintah daerah tak leluasa melakukan perekrutan baru.
“Ini juga menjadi PR, ini bagaimana kemudian dicoba dicarikan solusinya termasuk boleh jadi sekolah-sekolah pinggiran itu,” tegasnya.
Komisi IV DPRD Samarinda, kata Ismail, telah berulang kali menyampaikan kepada Wali Kota agar pemerataan pembangunan tidak hanya terfokus di pusat kota.
Ia menekankan pentingnya pemerataan dalam peningkatan kualitas pendidikan, baik dari sisi sumber daya manusia maupun infrastruktur.
“Artinya, di DPRD Kota Samarinda juga beberapa waktu yang lalu sudah mengingatkan juga Pak Wali khususnya Komisi IV, bahwa pembangunan infrastruktur, kemudian peningkatan kualitas guru di Kota Samarinda itu harus merata,” ucapnya.
Ismail menyebut masih terjadi kesenjangan kualitas pendidikan antara sekolah yang berada di pusat kota dan wilayah pinggiran, sehingga perlu ada langkah konkret dari pemerintah kota.
“Ini tidak boleh kemudian berpusat di pusat-pusat kota, tapi ada wilayah-wilayah pinggiran kemudian yang harus diperhatikan,” tegasnya lagi.
Ia juga menggarisbawahi bahwa sistem zonasi atau domisili dalam pendidikan perlu diterapkan secara serius agar warga pinggiran tidak terus memindahkan anaknya ke pusat kota demi mendapatkan mutu pendidikan yang lebih baik.
“Adapun sistem domisili, sistem zonasi sebelumnya itu menuntut kemudian pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah Kota Samarinda,” jelas Ismail.
Dalam pandangannya, jika pemerataan kualitas pendidikan tidak segera diatasi, maka stigma bahwa sekolah pusat kota lebih baik akan terus bertahan.
“Supaya orang-orang yang di pinggiran itu tidak lari ke kota karena di kota lebih bagus mutu pendidikannya dibandingkan di pinggiran,” lanjutnya.
Ismail menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pemerintah kota memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan mutu pendidikan yang setara bagi semua wilayah.
“Ini yang kemudian menjadi PR Pemerintah Kota Samarinda khususnya, bagaimana kemudian mutu pendidikan disetarakan, kualitas gurunya juga disetarakan, termasuk kemudian kaitannya dengan infrastruktur,” pungkasnya. (Adv)