Obrolanrakyat.id, Samarinda – Anggota DPRD Kota Samarinda Dapil III, Andriansyah, menyoroti persoalan tata ruang di wilayahnya. Ia mengkritik kebijakan perizinan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, terutama di Jalan Damanhuri, Samarinda Utara. Kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air kini dipenuhi oleh perumahan, yang berisiko memperparah masalah banjir di kota tersebut.
Menurut Andriansyah, salah satu faktor utama yang menyebabkan permasalahan ini adalah inkonsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan sebagai daerah resapan air, tetapi kenyataannya izin pembangunan tetap diberikan di area tersebut.
“Kalau suatu kawasan sudah ditetapkan sebagai daerah resapan, seharusnya tidak boleh ada izin untuk permukiman atau perumahan,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa ketika sebuah daerah resapan diubah menjadi permukiman, daya serap air tanah semakin berkurang. Dampaknya, air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah malah mengalir langsung ke kawasan lain dan meningkatkan risiko banjir.
Selain itu, permasalahan semakin kompleks dengan adanya rencana pembangunan kolam retensi di kawasan yang sudah menjadi permukiman. Hal ini menyebabkan pemerintah harus melakukan relokasi warga, yang tentu tidak mudah dan menimbulkan persoalan baru.
“Sekarang pemerintah ingin membangun kolam retensi di area permukiman, sehingga warga harus direlokasi. Ini menjadi persoalan lain yang perlu dipertimbangkan,” tambahnya.
Andriansyah menekankan bahwa pemerintah, khususnya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bertanggung jawab atas perizinan, harus lebih cermat dalam menerbitkan izin pembangunan. Setiap kebijakan harus selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda agar masalah serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
“Jika ada izin yang bertentangan dengan RTRW, harus ada tindakan tegas. Jangan sampai permasalahan ini terus berulang,” tuturnya.
Ia juga menyoroti dampak sosial dari kebijakan tata ruang yang tidak terencana dengan baik. Warga yang sudah telanjur bermukim di daerah yang kini dianggap sebagai lokasi pembangunan kolam retensi harus menghadapi ketidakpastian. Proses relokasi sering kali menemui kendala, baik dari segi ganti rugi lahan maupun kesiapan tempat tinggal baru bagi warga yang terdampak.
“Relokasi bukan sekadar memindahkan warga, tapi juga memastikan mereka mendapatkan tempat tinggal yang layak,” ujarnya.
Andriansyah berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas dan konsisten dalam menerapkan kebijakan tata ruang. Dengan demikian, permasalahan alih fungsi lahan dan dampaknya terhadap lingkungan dapat diminimalisir di masa mendatang. (ADV/DPRDSamarinda)