Obrolanrakyat.id, Samarinda – Proses penertiban pedagang di kawasan Pasar Subuh beberapa waktu lalu menuai sorotan karena dinilai tidak mengedepankan pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaikan konflik.
Penanganan yang dilakukan oleh aparat gabungan dari Satpol PP, kepolisian, dan TNI pada 9 Mei 2025 dipandang terlalu kaku dan kurang mengakomodasi dialog dengan para pedagang yang tersisa.
Wakil Ketua DPRD Kota Samarinda, Ahmad Vanandza, mengungkapkan bahwa sebenarnya para pedagang tidak menolak relokasi, namun mereka membutuhkan komunikasi yang jelas dan perlakuan yang menghargai kondisi mereka.
“Kalau pendekatannya humanis, saya yakin mereka mau pindah tanpa harus diusir atau dipaksa,” katanya belum lama ini.
Vanandza mengaku telah mengetahui rencana pembongkaran sehari sebelumnya dan langsung menuju lokasi di pagi hari saat eksekusi berlangsung, berharap bisa memberi ruang dialog antara petugas dan pedagang.
“Saya datang pagi-pagi karena niatnya ingin minta waktu agar penertiban itu ditunda dulu. Tapi saya belum sempat bicara, petugas sudah menerobos masuk begitu saja,” jelasnya.
Menurutnya, permintaan penundaan itu tidak akan menimbulkan kerugian apapun terhadap negara, karena lapak-lapak yang dibongkar merupakan milik pribadi dan bukan aset pemerintah.
“Kalau pun ditunda sehari, sebulan, bahkan setahun, tidak ada dampaknya bagi keuangan daerah. Yang penting komunikasi dengan pedagang bisa terbangun dulu,” tegas Vanandza.
Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang menurutnya belum sepenuhnya mendalami kondisi psikologis dan sosial para pedagang yang telah puluhan tahun berjualan di kawasan tersebut.
“Kalau komunikasi dari hati ke hati dilakukan sejak awal, saya yakin solusi bisa dicapai tanpa keributan,” ujar politisi muda dari Fraksi NasDem ini menambahkan.
Vanandza menekankan bahwa keberadaan pedagang tradisional seperti yang ada di Pasar Subuh seharusnya menjadi bagian dari wajah ekonomi rakyat yang perlu dirangkul, bukan dihadapi dengan kekuatan penuh.
Ia pun mendorong agar ke depan, pemerintah kota lebih bijak dan empatik dalam menangani persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat kecil, apalagi yang menyangkut mata pencaharian harian.
“Rakyat kita tidak anti perubahan, tapi perubahan harus dikawal dengan cara yang adil dan tidak menyakitkan,” pungkasnya.
Dengan pendekatan yang mengutamakan dialog dan penghormatan terhadap hak hidup pedagang kecil, ia meyakini relokasi atau penataan kawasan bisa berjalan lebih damai dan tidak menimbulkan luka sosial yang mendalam. (Adv)